Renungan Harian Katolik Minggu, 27 Maret 2022
Bacaan Pertama: Samuel 16:1b.6-7.10-13a
Setelah Raja Saul ditolak, berfirmanlah Tuhan kepada Samuel, “Isilah tabung tandukmu dengan minyak, dan pergilah. Aku mengutus engkau kepada Isai, orang Betlehem itu, sebab di antara anak-anaknya telah Kupilih seorang raja bagi-Ku.” Ketika anak-anak Isai itu masuk, dan ketika melihat Eliab, Samuel berpikir, “Sungguh, di hadapan Tuhan sekarang berdiri yang diurapi-Nya.” Tetapi berfirmanlah Tuhan kepada Samuel, “Janganlah berpancang pada paras atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat hati.” Demikianlah Isai menyuruh ketujuh anaknya lewat di depan Samuel, tetapi Samuel berkata kepada Isai, “Semuanya ini tidak dipilih Tuhan.” Lalu Samuel berkata kepada Isai, “Inikah semua anakmu?” Jawab Isai, “Masih tinggal yang bungsu, tetapi ia sedang menggembalakan kambing domba.” Kata Samuel kepada Isai, “Suruhlah memanggil dia, sebab kita tidak akan duduk makan, sebelum ia datang ke mari.” Kemudian disuruhnyalah menjemput dia. Kulitnya kemerah-merahan, matanya indah dan parasnya elok. Lalu Tuhan berfirman, “Bangkitlah, urapilah dia, sebab inilah dia.” Samuel mengambil tabung tanduknya yang berisi minyak itu, dan mengurapi Daud di tengah saudara-saudaranya.
Mazmur: 23:1-3a.3b-4.5.6
Ref. Tuhanlah gembalaku, takkan kekurangan aku.
- Tuhan adalah gembalaku, aku tidak kekurangan: 'ku dibaringkan-Nya di rumput yang hijau, di dekat air yang tenang. 'Ku dituntun-Nya di jalan yang lurus demi nama-Nya yang kudus.
- Sekalipun aku harus berjalan berjalan di lembah yang kelam, aku tidak takut akan bahaya, sebab Engkau besertaku; sungguh tongkat penggembalaan-Mu, itulah yang menghibur aku.
- Kau siapkan hidangan bagiku dihadapan lawanku, Kauurapi kepalaku dengan minyak, dan pialaku melimpah.
- Kerelaan yang dari Tuhan dan kemurahan ilahi, mengiringi langkahku selalu, sepanjang umur hidupku, aku akan diam di rumah Tuhan, sekarang dan senantiasa.
Bacaan Kedua: Efesus 5:8-14
Saudara-saudara, memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang. Karena terang hanya berbuahkan kebaikan, keadilan dan kebenaran. Ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan. Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya, telanjangilah perbuatan-perbuatan itu. Sebab menyebut saja apa yang mereka buat di tempat-tempat yang tersembunyi sudah memalukan. Tetapi segala sesuatu yang sudah ditelanjangi oleh terang itu menjadi nampak, sebab semua yang nampak adalah terang. Itulah sebabnya dikatakan, “Bangunlah, hai kamu yang tidur, dan bangkitlah dari antara orang mati, maka Kristus akan bercahaya atas kamu.”
Bacaan Injil: Yohanes 9:1-41 Singkat: Yoh 9:1.6-9.13-17.34-38
Sekali peristiwa, ketika Yesus sedang berjalan lewat, Ia melihat seorang yang buta sejak lahir. Murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orangtuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” Jawab Yesus, “Bukan dia dan bukan juga orangtuanya, tetapi karena pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia. Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang. Akan datang malam, di mana tak seorang pun dapat bekerja. Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia.” Sesudah mengatakan semua itu, Yesus meludah ke tanah, dan mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi dan berkata kepadanya, “Pergilah, basuhlah dirimu di kolam Siloam.” Siloam artinya “Yang Diutus”. Maka pergilah orang itu. Ia membasuh dirinya, lalu kembali dengan matanya sudah melek. Maka tetangga-tetangganya, dan mereka yang dahulu mengenalnya sebagai pengemis, berkata, “Bukankah dia ini yang selalu mengemis?” Ada yang berkata, “Benar, dialah ini!” Ada pula yang berkata, “Bukan, tetapi ia serupa dengan dia.” Orang itu sendiri berkata, “Benar, akulah dia.” Kata mereka kepadanya, “Bagaimana matamu menjadi melek?” Jawabnya, “Orang yang disebut Kristus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku, dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi, dan setelah membasuh diri, aku dapat melihat.” Lalu mereka berkata kepadanya, “Di manakah Dia?” Jawabnya, “Aku tidak tahu.” Lalu mereka membawa orang yang tadinya buta itu kepada orang-orang Farisi. Adapun hari waktu Yesus mengaduk tanah dan memelekkan mata orang itu adalah hari Sabat. Karena itu orang-orang Farisi pun bertanya kepadanya, bagaimana matanya menjadi melek. Jawabnya, “Ia mengoleskan adukan tanah pada mataku, lalu aku membasuh diriku, dan sekarang aku dapat melihat.” Maka kata sebagian orang-orang Farisi itu, “Orang ini tidak datang dari Allah, sebab Ia tidak memelihara hari Sabat.” Sebagian pula berkata, “Bagaimanakah seorang berdosa dapat membuat mukjizat yang demikian?” Maka timbullah pertentangan di antara mereka. Lalu kata mereka pula kepada orang yang tadinya buta itu, “Dan engkau, karena Ia telah memelekkan matamu, apakah katamu tentang Dia?” Jawabnya, “Ia seorang nabi!” Tetapi orang-orang Yahudi itu tidak percaya, bahwa tadinya ia buta dan baru sekarang dapat melihat. Maka mereka memanggil orangtuanya dan bertanya kepada mereka, “Inikah anakmu yang kamu katakan lahir buta? Kalau begitu bagaimanakah ia sekarang dapat melihat?” Jawab orang tua itu, “Yang kami tahu, dia ini anak kami, dan ia memang lahir buta. Tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu; dan siapa yang memelekkan matanya, kami juga tidak tahu. Tanyakanlah kepadanya sendiri,sebab ia sudah dewasa; ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri.” Orang tuanya berkata demikian, karena mereka takut kepada orang-orang Yahudi, sebab orang-orang yahudi itu telah sepakat bahwa setiap orang yang mengakui Yesus sebagai Mesias akan dikucilkan. Itulah sebabnya maka orang tua itu berkata, “Ia telah dewasa, tanyakanlah kepadanya sendiri.” Lalu mereka memanggil sekali lagi orang yang tadinya buta itu, dan berkata kepadanya, “Katakanlah kebenaran di hadapan Allah: Kami tahu bahwa orang itu orang berdosa.” Jawabnya, “Apakah Dia itu orang berdosa, aku tidak tahu! Tetapi satu hal yang aku tahu, yaitu: Aku tadinya buta, dan sekarang dapat melihat.” Kata mereka kepadanya, “Apakah yang diperbuat-Nya kepadamu? Bagaimana Ia dapat memelekkan matamu?” Jawabnya, “Telah kukatakan kepadamu, dan kamu tidak mendengarkannya. Mengapa kamu hendak mendengarkannya lagi? Barangkali kamu mau menjadi murid-Nya juga?” Sambil mengejek, orang-orang Farisi berkata kepadanya, “Engkau saja murid orang itu, tetapi kami murid-murid Musa. Kami tahu bahwa Allah telah berfirman kepada Musa, tetapi tentang Dia itu, kami tidak tahu dari mana Ia datang.” Jawab orang itu kepada mereka, “Aneh juga bahwa kamu tidak tahu dari mana Ia datang, padahal Ia telah memelekkan mataku. Kita tahu bahwa Allah tidak mendengarkan orang-orang berdosa, melainkan orang-orang yang saleh dan yang melakukan kehendak-Nya. Dari dahulu sampai sekarang tidak pernah terdengar, bahwa ada orang yang memelekkan mata orang yang lahir buta. Jikalau orang itu tidak datang dari Allah, Ia tidak dapat berbuat apa-apa.” Jawab mereka, “Engkau ini lahir sama sekali dalam dosa, dan engkau hendak mengajar kami?” Lalu mereka mengusir dia ke luar. Yesus mendengar bahwa orang itu telah diusir oleh orang-orang Farisi. Maka ketika bertemu dengan dia, Yesus berkata, “Pecayakah engkau kepada Anak Manusia?” Jawabnya, “Siapakah Dia, Tuhan, supaya aku percaya kepada-Nya.” Kata Yesus kepadanya, “Engkau bukan saja melihat Dia! Dia yang sedang berbicara dengan engkau, Dialah itu!” Kata orang itu, “Aku percaya, Tuhan!” lalu ia sujud menyembah Yesus. Kata Yesus, “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa tidak melihat dapat melihat, dan supaya yang dapat melihat menjadi buta.” Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ, dan mereka berkata kepada Yesus, “Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?” jawab Yesus kepada mereka, “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa. Tetapi karena kamu berkata, ‘Kami melihat’, maka tetaplah dosamu.”
Renungan
Yesus berkata “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yoh 8:12). Yesus adalah terang dunia, yang memberikan penerangan kepada dunia, kepada setiap orang. Karena kegelapan adalah ketidak-adaan terang, dan Yesus adalah Terang itu sendiri, maka di dalam Yesus tidak ada kegelapan. Setiap orang yang masuk di dalam hadirat-Nya, yang mau disentuh oleh Sang Terang, tidak akan mengalami kegelapan. Drama perjalanan dari gelap menuju terang, baik secara fisik maupun spiritual inilah yang ingin disampaikan dalam Yohanes 9:1-41. Pada saat seseorang mengatakan “Aku percaya, Tuhan! Dan aku sujud menyembah-Mu” (ay. 39), maka seseorang telah dipisahkan dari kegelapan dan berada dalam terang Tuhan.
Paus Benediktus XVI dalam surat gembala prapaskah kepausan mengajarkan bahwa perikop Yoh 9 mengajarkan tentang Kristus, Sang Cahaya Dunia, dengan menuliskan “Hari Minggu Keempat, melalui kisah “orang yang buta sejak lahir” itu, menampilkan Kristus, Sang Cahaya Dunia. Injil hari ini mengkonfrontasikan masing-masing kita dengan pertanyaan ini: “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” “Ya, Tuhan, aku percaya” (Yoh. 9:35,39) seru orang yang buta sejak lahir itu dengan sukacita, dan dengan demikian ia menyuarakannya juga bagi semua orang beriman. Mukjijat penyembuhan ini menjadi tanda, bahwa Kristus berkehendak memberi kita, bukan saja kemampuan untuk melihat, tetapi juga membuka kemampuan kita melihat secara batin, sehingga iman kepercayaan kita juga semakin diperdalam dan kita mampu mengenali-Nya sebagai satu-satunya Juru Selamat kita. Ia menerangi apa saja yang merupakan kegelapan di dalam hidup dan membimbing semua orang laki-laki dan perempuan untuk hidup sebagai “anak-anak terang”
Perikop Yoh 9:1-41 adalah perikop yang begitu panjang dan begitu indah, yang mungkin memerlukan pembahasan yang begitu panjang lebar. Namun, pada tulisan ini, kita hanya akan membahas tentang proses perjalanan iman dari orang yang buta melihat Sang Terang.
Buta sejak lahir
Perikop ini dibuka dengan suatu pertemuan antara Yesus dan orang yang buta sejak lahir. Kemudian para murid mempertanyakan atas dosa siapakah sehingga dia menjadi buta, apakah dosanya sendiri atau orang tuanya. Bagi orang-orang Yahudi, kekayaan dihubungkan dengan berkat, sedangkan kemiskinan dan penderitaan dihubungkan dengan dosa dan kutuk, baik dosa sendiri (lih. Ul 24:16; Yer 31:30; Yeh 18:20; Ayub 4:7-8; 2 Mak 7:18) maupun dosa orang tua (Kel 20:5; Kel 34:6-7; Tob 3:3). Namun bagi orang Kristen, kemiskinan dan penderitaan tidak secara otomatis karena dosa, dan Yesus menegaskan “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.” (Yoh 9:3)
Memang secara fisik, tidak banyak orang yang dilahirkan buta. Namun secara rohani, bukankah kita semua manusia terlahir buta, karena akal budi kita dikotori oleh dosa asal, yang diturunkan dari dosa manusia pertama, sehingga kita semua mempunyai kecenderungan berbuat dosa (concupiscence)? Namun, dosa dari Adam ini diperingati dalam setiap malam Paskah sebagai dosa yang membahagiakan, yang disenandungkan “O happy fault, O necessary sin of Adam, which gained for us so great a Redeemer!” Dan Sang Penebus, yaitu Yesus inilah yang dianugerahkan oleh Allah Bapa untuk membebaskan kita, orang-orang yang memang dilahirkan “buta” secara rohani oleh karena dosa asal. Oleh sebab itu, ini juga kisah masing-masing dari kita.
Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku
Sungguh suatu perkataan yang harus kita resapkan bersama-sama, karena Yesus mengatakan bahwa “kita” dan bukan hanya Yesus yang harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Yesus (ay. 4). Yesus mengatakan “kita”, ketika Dia menjawab pertanyaan para murid. Kita, yang menjadi murid Kristus juga termasuk dalam golongan “kita”. Dan kita, juga harus mengerjakan pekerjaan Dia atau Bapa. Pekerjaan apakah? Karena Bapa berkata “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia” (Mt 17:5), maka kita harus mendengarkan dan melaksanakan semua yang diperintahkan oleh Kristus.
Kalau doa adalah suatu ungkapan yang terdalam dari hati, maka kita harus benar-benar menaruh perhatian yang lebih pada perkataan Yesus pada saat Dia berdoa. Dan apa yang diperintahkan-Nya terungkap pada kata-kata seperti yang didoakan-Nya:
“17 Kuduskanlah mereka dalam kebenaran; firman-Mu adalah kebenaran. 18 Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia; 19 dan Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran. 20 Dan bukan untuk mereka ini saja Aku berdoa, tetapi juga untuk orang-orang, yang percaya kepada-Ku oleh pemberitaan mereka; 21 supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku.” (Yoh 17:17-21).
Dari doa ini, kita tahu, bahwa Yesus menginginkan kita untuk menjadi kudus, karena hanya dengan kekudusan, maka seseorang dapat diterima di dalam Kerajaan Sorga. Karena kekudusan adalah kasih terhadap Tuhan dan kasih terhadap sesama demi kasih kepada Tuhan, dan Yesus berdoa untuk menguduskan para murid dalam kebenaran (Yoh 17:17), maka kita harus memegang teguh bahwa kasih harus berdasarkan kebenaran. Tindakan yang seolah-olah adalah tindakan kasih namun tidak berdasarkan kebenaran bukanlah perbuatan kasih. Dan sama seperti Bapa telah mengutus Yesus untuk mengabarkan kasih dan kebenaran (Yoh 17:18), maka Yesus juga mengutus kita semua untuk mewartakan kasih dan kebenaran. Yesus telah menguduskan diri kita semua dengan Roh Kebenaran, yaitu Roh Kudus, yang kita terima pada saat kita dibaptis.
Maka kita semua yang telah dibaptis harus bersatu padu membangun Gereja. Tanpa persatuan, maka dunia tidak dapat percaya bahwa Allah telah mengutus Yesus Sang Putera Allah. Oleh karena itu, Yesus sendiri telah mendirikan Gereja Katolik sebagai Gereja yang satu, kudus, katolik, dan apostolik, di mana persatuan umat beriman dinyatakan dalam kesatuan liturgi dan doktrin, di bawah Paus yang menjadi wakil Kristus dan Gembala Gereja semesta, mempunyai kuasa penuh, tertinggi dan universal terhadap Gereja.[1]
Sampai kapankah kita harus mengerjakan pekerjaan ini? “4 Kita harus mengerjakan pekerjaan Dia yang mengutus Aku, selama masih siang; akan datang malam, di mana tidak ada seorangpun yang dapat bekerja. 5 Selama Aku di dalam dunia, Akulah terang dunia.“ (Yoh 9:4-5). Ini bukan berarti bahwa pekerjaan itu hanya dilaksanakan selama Yesus ada di dunia ini, namun sampai pada akhir jaman, dimana Yesus sendiri yang akan memisahkan terang dan gelap, yaitu pada saat penghakiman terakhir. Sebelum maut memisahkan kita dan atau akhir dunia, di mana setiap orang akan mengalami pengadilan Tuhan, maka kita semua masih mempunyai kesempatan untuk berlomba-lomba dalam kekudusan. Namun pada saat pengadilan terakhir dinyatakan, dan sebagian dinyatakan untuk masuk dalam kegelapan abadi, maka tidak ada lagi yang dapat bekerja (ay. 4), karena semuanya telah selesai dan lengkap. Oleh karena itu, kita semua yang telah menerima Sakramen Baptis, yang menerima Roh Kristus, harus bersatu padu di dalam Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, untuk senantiasa bekerja mewartakan kasih dan kebenaran Kristus sampai pada saat kedatangan Kristus yang ke-dua.
Pergilah basuhlah dirimu dalam kolam Siloam
Kristus dalam perikop ini menunjukkan satu perbuatan nyata yang menguak pentingnya seseorang menerima baptisan untuk diselamatkan. Bagaimana Yesus membuat orang buta itu melihat? “Ia meludah ke tanah, dan mengaduk ludahnya itu dengan tanah, lalu mengoleskannya pada mata orang buta tadi 7 dan berkata kepadanya: “Pergilah, basuhlah dirimu dalam kolam Siloam.” Siloam artinya: “Yang diutus.” Maka pergilah orang itu, ia membasuh dirinya lalu kembali dengan matanya sudah melek.” (Yoh 9:6-7).
St. Agustinus mengatakan bahwa “mengaduk ludah dengan tanah” mengacu kepada “Firman telah menjadi manusia”[2], yaitu Yesus sendiri. Dan ini juga sejalan dengan arti dari Siloam, yaitu yang diutus, yang mengacu kepada Yesus sendiri yang diutus oleh Bapa. Oleh karena itu, bagaimana orang buta ini dapat melihat? Karena inisiatif dari Allah. Kita mengenal Kristus dan dibebaskan dari kebutaan mata hati kita untuk menjadi terang melalui Sang Terang, karena rahmat Ilahi. Tanpa rahmat ilahi, kita tidak mungkin dapat mengenal Sang Terang. Sama seperti Kristus yang menyembuhkan orang buta tersebut dengan suatu proses (meludah, mengaduk, mengoleskan), maka kita yang sebelumnya buta dijamah oleh Kristus sendiri. Kita menanggapi kasih Kristus ini dengan keinginan dan keputusan untuk mengikuti Dia dalam proses katekese.[3]. Namun Allah tidak ingin kita hanya sekedar mengenal-Nya, karena Ia ingin bertahta dalam hidup kita. Allah ingin kita menjadi “yang terkasih” (the beloved), karena Allah sendiri ingin mencurahkan Roh Kudus-Nya kepada kita dan menjadikan kita anak-anak angkat-Nya. Oleh karena itu, Allah, melalui Gereja-Nya, membaptis kita, sama seperti Yesus mengutus orang buta tersebut ke kolam Siloam.[4] Orang buta tersebut dapat melihat setelah membasuh diri di kolam Siloam, sama seperti kita yang melihat terang karena rahmat Sakramen Baptis. Melalui Pembaptisan kita dipersatukan dengan Yesus “Yang Diutus oleh Allah Bapa”, dan kemudian kitapun kemudian diutus oleh Allah untuk hidup seturut dengan panggilan kita sebagai anak-anak angkat Allah di dalam Kristus.
Bersaksilah tentang Aku yang telah memberikan terang
Ayat 8-34 adalah suatu perjalanan iman yang harus dilalui oleh setiap orang yang dibaptis, sebagai suatu akibat dari melihat terang. Seseorang yang telah melihat terang dan hidup dalam terang tidak dapat membiarkan dirinya dan orang lain untuk tetap hidup dalam kegelapan. Orang yang hidup dalam terang akan mengorbankan segalanya untuk tetap hidup dalam terang.
Pertama, orang buta tersebut harus bersaksi kepada orang-orang terdekatnya, yaitu anggota keluarga, tetangga-tetangga, komunitas setempat. Mungkin mereka akan berkata “bukankan dia ini yang selalu mengemis?” (ay. 8), sama seperti seseorang mengatakan bukankah dia ini yang dulunya hidup bergelimang dosa? Atau, yang dulu hidupnya tidak jujur? Dan orang akan senantiasa mempertanyakan alasan mengapa orang buta itu, ataupun juga kita, berubah.
Menarik sekali bahwa orang buta ini begitu bersukacita akan perubahan yang dialaminya, sehingga ketika tetangganya bertanya bahwa bukankah dia yang dulu mengemis dan buta, dia dengan bersukacita menjawab, “Ya, benar” (ay. 9-10). Kita juga dapat mengatakan hal yang sama, bahwa kita yang memang telah lama buta dan tinggal dalam kegelapan telah dijamah oleh Kristus dan memperoleh terang. Namun, kesaksian ini akan menjadi lebih efektif kalau kita dapat membuktikan bahwa kita memang dapat melihat, yang berarti tidak tersandung dan tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Atau dengan kata lain, kesaksian ini akan lebih berarti kalau kita juga berjuang untuk hidup kudus, hidup sebagai anak-anak terang. Dengan demikian, kita juga dapat berkata seperti yang dikatakan oleh orang buta yang telah disembuhkan itu, “Orang yang disebut Yesus itu mengaduk tanah, mengoleskannya pada mataku dan berkata kepadaku: Pergilah ke Siloam dan basuhlah dirimu. Lalu aku pergi dan setelah aku membasuh diriku, aku dapat melihat” (ay. 11).
Namun selanjutnya, sungguh sayang, orang buta itu menjawab “tidak tahu” ketika para tetangga bertanya “Dimanakah Dia?” (ay. 12). Apakah kita juga menjawab tidak tahu ketika orang bertanya tentang Yesus? Orang buta tersebut tidak mendapatkan proses katekese, namun kita yang telah melalui proses katekese dan pelajaran agama sebelum dibaptis maupun pendalaman iman setelah dibaptis, tidak mempunyai alasan untuk mengatakan bahwa kita tidak tahu tentang Yesus. Orang buta tersebut tahu tentang Yesus, namun dia tidak tahu di mana Yesus. Kita yang telah mendapatkan kepenuhan Yesus di dalam Gereja Katolik harus menunjukkan kepada orang yang bertanya kepada kita, untuk juga menemukan Yesus di dalam Gereja Katolik.
Kesaksian kedua yang diberikan oleh orang yang tadinya buta adalah kepada orang-orang Farisi, yang mungkin dalam kehidupan kita dapat mewakili orang-orang yang berkuasa yang lebih besar dari kita, misalnya orang-orang yang bertanggung jawab di dalam perusahaan tempat kita bekerja, di dalam masyarakat yang majemuk, dll. Kita, yang telah menerima terang dari Kristus juga akan menghadapi tantangan yang sama, ketika banyak orang dari agama yang berbeda, mungkin mengatakan bahwa tidak ada Tuhan, Yesus bukanlah Allah, dll. Mungkin juga kita akan menghadapi tantangan yang berkata bahwa Gereja Katolik bukanlah Gereja yang didirikan oleh Kristus, atau Gereja Katolik hanyalah salah satu denominasi Kristen.
Di sinilah kita belajar bahwa para santa-santo adalah suatu bukti dari kebenaran dalam Gereja Katolik. Sama seperti orang buta yang telah disembuhkan, maka santa-santo adalah bukti bagaimana orang yang telah dijamah oleh Kristus dan bertumbuh dalam sakramen, dapat mempunyai kerendahan hati dan ketaatan, yang menghasilkan buah berlimpah. Orang yang tidak percaya akan Kristus maupun Gereja Katolik akan bertanya “Mengapa yang terberkati Bunda Teresa mau dan mempunyai kekuatan untuk melayani orang-orang yang paling miskin di Kalkuta? Mengapa ada orang yang mau hidup selibat dan mengabdikan diri bagi sesama dan menjadi pastor dan suster? Mengapa semua orang korupsi, sedangkan umat yang beragama Katolik jujur? ” Inilah “argument of the heart“, yang mungkin sulit untuk dibantah, karena fakta memang di depan mata, sama seperti orang-orang Farisi tidak dapat menyangkal kesembuhan dari orang yang buta sejak lahir itu.
Dan pada saat orang-orang bertanya tentang perubahan dalam diri kita, maka kita dapat menunjuk kepada Sang Terang yang memberikan kekuatan kepada kita. Siapakah yang merubah kehidupanmu? (ay. 17). Kita harus menunjuk kepada Sang Sumber Terang, yaitu Kristus. Orang buta yang telah disembuhkan pada saat itu belum mendapatkan kepenuhan wahyu, sehingga dia menjawab, “Ia adalah seorang nabi” (ay. 17). Walaupun jawaban ini tidak salah, namun belum lengkap. Seorang nabi adalah orang yang mewartakan kebenaran, yaitu kebenaran Allah. Namun Kebenaran itu mempunyai nama, sebab Kebenaran telah menjelma menjadi manusia, yaitu Yesus Kristus.
Pada saat kita hanya menerima semua dogma dan doktrin Gereja Katolik dalam batas pengetahuan saja, namun tidak melaksanakannya dalam kehidupan nyata, maka sebenarnya sama saja kita mengatakan bahwa Yesus hanyalah sebatas “Nabi“. Sebatas nabi yang mungkin tidak perlu disembah dan tidak perlu menjadi fokus yang paling penting dalam kehidupan kita. Sedangkan, untuk sampai pada tahap penghayatan akan kebenaran yang bukan hanya terbatas pada pikiran, maka semua pengajaran Kristus, yang dinyatakan lewat Gereja harus diendapkan dalam hati, sehingga dengan seluruh keberadaan kita mengasihi kebenaran. Iman kita bukan hanya tergantung dari perkataan orang tertentu, bukan hanya tergantung dari website tertentu, bukan hanya tergantung dari guru kita ataupun orang tua kita. Karena pada akhirnya iman kita adalah merupakan “personal faith” (iman pribadi). Dan tepat sekali apa yang dikatakan oleh orang tua dari orang buta ini, “Ia telah dewasa, tanyakanlah padanya sendiri” (ay. 23). Iman pribadi inilah yang dituntut oleh Kristus kepada setiap orang yang telah menerima Kristus, sama seperti ketika Kristus bertanya kepada Petrus “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” (Mt 16:15). Pengakuan iman yang pribadi seperti ini merupakan iman yang dewasa, yang akan senantiasa dimurnikan secara terus-menerus.
Dalam perikop ini, terlihat bahwa orang buta yang telah disembuhkan harus menghadapi lagi pertanyaan-pertanyaan dan tuduhan-tuduhan dari orang-orang Farisi. Demikian juga dengan kita: pertanyaan-pertanyaan dan ujian-ujian iman ini akan terus berlangsung selama hidup kita. Kita harus mempertanggungjawabkan iman yang kita bukan hanya dengan perkataan, namun juga dengan perbuatan, dan juga dengan segala resikonya. Orang buta yang disembuhkan tahu dan mengalami kesembuhan dari Yesus. Dan keyakinan ini begitu dalam terpatri di dalam hatinya, sehingga tidak ada kekuatan di dunia ini yang dapat mengubah keyakinannya, termasuk interograsi dari orang-orang Farisi.
Akhirnya, interograsi dari orang-orang Farisi tersebut menyebabkan orang buta yang telah melihat itu diusir keluar (ay. 34). Ayat 34 yang mengatakan “… Lalu mereka mengusir dia ke luar“, bukanlah hanya sekedar diusir dari ruangan, namun diusir dari komunitas, atau dengan kata lain di-ekskomunikasi. Orang yang di-ekskomunikasi, yang di keluarkan dari komunitas Yahudi, dianggap sebagai orang asing, tidak boleh masuk ke dalam sinagoga. Dengan kata lain, orang buta tersebut dikucilkan.[5] Dalam percakapan dengan orang-orang Farisi, orang buta yang telah disembuhkan mengetahui resiko pengusiran ini, namun dia tidak takut akan resiko yang harus ditanggungnya. Bandingkan dengan sikap orang tuanya yang takut dikucilkan, sehingga tidak berani untuk memberitakan kebenaran (ay. 22). Kita sebagai orang-orang yang telah mengalami jamahan Kristus, dan hidup dalam terang Kristus selayaknya rela berkorban untuk terus hidup dalam kebenaran.
Perjuangan membawa sang buta kepada Sang Kebenaran
Mungkin peristiwa kesembuhan dan pengusiran orang buta itu dari komunitas Yahudi diketahui oleh banyak orang, termasuk oleh Yesus (ay. 35). Inilah sebabnya pada waktu Yesus bertemu dengan orang itu, Yesus berkata “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?“. Anak Manusia adalah gelar dari Sang Mesias (lih. Dan 7:13). Tidak ada keraguan dalam diri orang buta tersebut bahwa Anak Manusia adalah merujuk kepada Sang Mesias, sehingga dia berkata “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya” (ay. 36). Yesus yang tahu bahwa orang buta itu diusir dari komunitas Yahudi melalui tahta Musa menawarkan kepada orang buta tersebut suatu komunitas yang lebih baik, yaitu komunitas yang diperintah sendiri oleh Diri-Nya.
Bagi Yesus, kesembuhan fisik dari orang buta tersebut tidaklah cukup. Inilah sebabnya, Yesus bukan bertanya apa yang akan dilakukan oleh orang buta itu setelah di-ekskomunikasi dari komunitas Yahudi, melainkan Yesus bertanya “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” Kalau pada pertemuan pertama Yesus memberikan terang bagi kebutaan mata orang itu, maka pada pertemuan ke dua, Yesus memberikan terang spiritual, sehingga orang buta itu dapat memperoleh terang keselamatan. Dan dengan penuh kasih Yesus memberikan jati diri-Nya kepada orang buta tersebut “Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!” (Yoh 9:37). Mendengar perkataan Yesus, orang buta itu bersembah sujud dan berkata “Aku percaya, Tuhan!” (ay. 38). Di sinilah orang buta tersebut melihat terang Sorgawi, terang yang membawanya kepada keselamatan kekal.
Kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan untuk mencapai Kebenaran
Untuk memperoleh iman seperti orang buta tersebut, diperlukan suatu kondisi, yaitu seseorang harus menyadari bahwa dia adalah seorang yang buta. Hal ini berarti, iman yang benar seperti ini hanya dapat dicapai ketika seseorang menyadari dengan segala kerendahan hati bahwa dirinya adalah seorang yang berdosa. Dan Yesus menegaskan hal ini dengan berkata “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat” (ay. 39). Kerendahan hati membuat rahmat Tuhan mengalir secara bebas dalam kehidupan seseorang, sehingga pada akhirnya rahmat Tuhan ini menuntun orang tersebut kepada keselamatan. Bahkan dapat disimpulkan bahwa tanpa kerendahan hati, seseorang tidak akan mungkin memperoleh keselamatan, seperti yang ditegaskan oleh Yesus “…supaya barangsiapa melihat menjadi buta.” Orang yang buta namun tidak menyadari kebutaannya – seperti yang ditunjukkan oleh orang-orang Farisi (ay. 40) – adalah sungguh tragis dan ini merupakan pernyataan kesombongan mereka. Kesombongan inilah yang menjadi penghalang bagi rahmat Tuhan untuk mengubah kehidupan mereka. Oleh karena itu, hidup mereka akan terus berada di dalam kegelapan.
Siapa yang dipercaya banyak, dituntut lebih banyak
Orang yang tidak buta seharusnya tidak tersandung dan tidak menjadi batu sandungan, serta dia tetap berjalan dalam terang. Maka, orang percaya yang telah melihat, namun tetap hidup dalam kegelapan, lebih besar dosanya daripada orang yang buta. Yesus berkata, “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu” (ay. 41). Orang-orang Farisi yang mempunyai pengetahuan yang begitu luas, terpelajar, dan tahu tentang tanda-tanda dari Sang Mesias, tetapi mereka tidak mau percaya akan segala kenyataan yang terbentang di depan mata, bahwa Yesus adalah Mesias yang dijanjikan. Padahal sesungguhnya, mereka tidak mempunyai alasan untuk tidak percaya. Maka, ketidak percayaan mereka ini disebabkan oleh kekerasan hati mereka. Yesus menegaskan hal ini dengan berkata “Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan. Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut.” (Lk 12:48).
Dalam konsep keselamatan, orang buta adalah orang-orang yang memiliki “invincible ignorance“, yaitu “orang-orang yang, bukan karena kesalahan mereka, tidak mengenal Kristus, yang dapat juga diselamatkan, asalkan mereka mengikuti hati nurani mereka dan mempraktekkan hukum kasih, dimana mereka juga digerakkan oleh rahmat Ilahi.”[6] Meskipun dibutuhkan perjuangan yang tidak mudah dalam kategori ini untuk dapat memperoleh keselamatan, namun dalam belas kasihan-Nya, Tuhan dapat memakai parameter yang berbeda dalam mengadili mereka.
Namun bagi orang-orang yang melihat, atau orang-orang yang telah mengenal Kristus akan dituntut lebih banyak. Inilah sebabnya Gereja Katolik mengatakan “Andaikata ada orang, yang benar-benar tahu, bahwa Gereja Katolik itu didirikan oleh Allah melalui Yesus Kristus sebagai upaya yang perlu, namun tidak mau masuk ke dalamnya atau tetap tinggal di dalamnya, ia tidak dapat diselamatkan.”[7] Hal ini disebabkan karena orang yang benar-benar tahu bahwa Kristus mendirikan Gereja Katolik namun tidak masuk di dalamnya berarti dia mendahulukan kepentingan pribadi di atas pencarian kebenaran.
Dan terlebih lagi bagi orang-orang Katolik sendiri yang mendapatkan kepenuhan kebenaran dan begitu banyak rahmat yang mengalir dalam sakramen-sakramen, dituntut lebih banyak. Lumen Gentium mengatakan “Tetapi tidak diselamatkan orang, yang meskipun termasuk anggota Gereja namun tidak bertambah dalam cinta-kasih; jadi yang “dengan badan” memang berada dalam pangkuan Gereja, melainkan tidak “dengan hatinya”.[8] Ini berarti bahwa orang Katolik yang mempunyai “kepenuhan kebenaran” harus benar-benar dapat menerapkan ajaran kasih. Bagi kita umat Katolik, tidak ada alasan untuk tidak mengasihi Tuhan dan sesama, karena kita telah diberi berkat yang berlimpah dari sakramen-sakramen, terutama dari Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat, yang memampukan kita untuk hidup kudus setelah menerima Sakramen Baptis.
Yesus adalah terang dunia.
Dari perikop ini, maka kita melihat perjalanan iman dari orang buta, yang sebenarnya merupakan refleksi dari perjalanan iman kita. Kita yang telah disembuhkan dari kegelapan – karena dosa asal – lewat Sakramen Baptis, dituntut untuk terus hidup dalam terang. Dan kita semua juga diundang oleh Kristus untuk menjadi duta atau utusan Kristus (lih. 2 Kor 5:20) untuk mewartakan kabar gembira sampai pada kedatangan Kristus yang kedua. Kita dituntut untuk menyebarkan terang Kristus kepada semua orang, sehingga semua orang juga dapat sampai kepada sumber Terang, yaitu Kristus. Di manapun tingkat spiritualitas kita, kita sekali lagi diingatkan bahwa kita harus senantiasa kembali kepada sikap kerendahan hati, seperti yang diingatkan oleh St. Teresa dari Avila dalam bukunya puri batin (interior castle). Kerendahan hati inilah yang memungkin seseorang yang berada dalam kegelapan dapat melihat terang, dan orang yang berada dalam terang tidak terjatuh dalam kegelapan serta semakin memancarkan terang Kristus. Mari kita semua memegang teguh apa yang Yesus katakan “Akulah terang dunia; barangsiapa mengikut Aku, ia tidak akan berjalan dalam kegelapan, melainkan ia akan mempunyai terang hidup.” (Yoh 8:12).